Sabtu, 04 April 2015

LINTAS WELIRANG - ARJUNO VIA TRETES

Rencana yang telah disusun beberapa bulan sebelumnya, hampir saja dibatalkan, karena begitu banyak halangan. Mulai dari pos perijinan yang tutup, hingga jadwal masing2 yang bentrok, beberapa kali mengganti tanggal keberangkatan, hingga kami dapatkan 1 hari yakkni 23 Januari 2015. Namun mendadak dapat pengumuman, ujian UAS saya di kampus dijadwalkan bertepatan dengan hari dimana kami berencana berangkat.

23 Januari 2015, secepat mungkin saya selesaikan ujian hari itu. Lalu berganti pakaian, dan berangkat menuju terminal Purabaya (Bungurasih). Beruntung bis jurusan Surabaya-Malang yang saya tumpangi segera berangkat sehingga tidak terlalu banyak membuang waktu. Kurang lebih 45 menit, saya tiba di terminal Pandaan. Disana teman-teman telah menunggu. Pluto dan Je, dari Purwosari Pasuruan. Imin dari Lombok. Bang Hunter dari Lawang Malang.

Menggunakan angkutan umum kami menuju pos pendakian Tretes. Di tengah perjalanan baru teringat bahwa kami belum membeli beras untuk perbekalan. Jadilah hari itu kami trekking tanpa membawa beras, setidaknya masih ada sayur dan beberapa lauk yang telah kami siapkan, juga mie instan yang tak pernah lupa menjadi andalan.

Pukul 14.00 kami tiba di pos, dan menghubungi penjaga pos untuk ijin pendakian. Ditengah guyuran hujan kami memulai trekking di medan berbatu yang mulai menanjak tapi masih santai. Sambil ngobrol ngalor ngidul gak jelas, menikmati perjalanan perdana saya di medan ini.

Guyuran hujan menggempur stamina saya yang sudah cukup lama vakum dari urusan perhutanan. Ditambah belum makan dari sehari sebelumnya karena terlalu sibuk menyiapkan ujian. Jadilah saya masuk angin. Beruntungnya jalan dengan para pendaki sejati itu, brotherhoodnya begitu kental, melihat kondisi saya yang mulai drop, tawaran untuk membawakan carrier mulai berdatangan. Sesekali manja tak apalah :D

Sekitar 1jam berjalan, kami tiba di Pet Bocor. Sejenak beristirahat, membasahi kerongkongan, dan mengatur nafas. Lalu kembali melanjutkan perjalanan menuju Kop-Kopan.

Sambil sesekali beristirahat, sembari menikmati pemandangan yang indah meski terselubung mendung dan gerimis romantis. Sekitar 2 jam kemudian kami tiba di Kop-Kopan. Alhamdulillah  rejeki anak sholeh. kami menemukan seplastik beras, mungkin ditinggalkan oleh pendaki lain, kami membawanya sebagai perbekalan kami. Kami sempatkan membuat bubur kacang hijau dan teh panas untuk menambah stamina. Dan benar saja, seperti balita di posyandu, makan kacang hijau, langsung tahes :D jadi kuat bawa carrier lagi.

Senja mulai menaungi perjalanan kami, bersama langit yang gerimisnya tak kunjung berhenti. Melanjutkan perjalanan dengan tenaga yang tersisa. Sedikit doping dari biscuit dan madu yang kami bawa. Saat itu, stamina Je mulai menurun. Pertanda buruk bagi kami, karena Je salah satu yang paling kuat bawa banyak barang dan dia juga yang lebih mengenal medan ini daripada kami. Tak lama, Pluto juga mulai drop. Tapi dengan ringannya Je berjalan mendahului, meninggalkan carriernya di tempat yang agak jauh di depan. Tak lama kemudian dia kembali dan membawa carrier Pluto.

Sekitar pukul 19.00 kami tiba di Pondokan. Di tempat ini banyak pondok sederhana milik para penambang belerang. Saya dan Hunter mendirikan tenda, imin juga turut serta membantu kami. Je dan Pluto menyiapkan makan malam kami.


Usai menata barang, bersih diri, lalu kami menikmati hidangan sederhana. Je masih tak berselera makan. Akhirnya kami paksa ia menelan beberapa sendok bubur kacang hijau hangat, dan sebungkus tolak angin. Tak lama kemudian ia memuntahkan semua. Saya minta Je untuk beristirahat, sleeping bag yang hanya satu pun di buka lebar sebagai selimut kami bertiga (Je, Pluto dan Saya), meski ujung2nya slimut itu di dominasi Pluto karena badannya paling besar :D

Pagi harinya, gak ada pikiran untuk menikmati sunrise atau apalah apalah. Memanfaatkan waktu untuk beristirahat. Setelah dirasa cukup, kami mulai siapkan sarapan. Jemur beberapa barang yang basah kuyup karena hujan semalam. Kemudian bersiap summit Welirang.


24 Januari 2015, Pukul 7.30 kami mulai menuju puncak welirang. Je menjaga tenda, supaya barang-barang tak hilang, juga memulihkan staminanya yang masih belum sempurna setelah drop semalam.
Sepanjang jalan kami bertemu beberapa orang yang sedang membuat jalan untuk off road. Mungkin nanti, ekosistem ini akan semakin rusak lagi, bila mobil sudah dengan mudahnya dapat masuk dan menjelajah hutan ini, meninggalkan jejak melukai tanah yang subur ini.

Diiringi siraman cahaya mentari, perlahan kaki kami menapaki jalan berbatu yang terus menanjak. Sesekali kami berhenti sejenak untuk mengatur nafas. Saya yang paling ngos ngosan, sementara yang lain masih bisa tersenyum manis karena mereka memang sudah senior di bidang perhutanan ini.
Kaki ini terus menapaki tanah dan bebatuan, sembari mendengarkan kisah dari Pluto yang sudah lebih dulu menjamah tempat ini. Kisahnya tentang gunung Kembar 1, Kembar 2, beberapa jalur untuk menuju puncak, dan berbagai kejadian unik yang pernah dialami disini.

Setelah cukup lama berjalan, kami tiba di suatu tanah lapang dengan begitu banyak tanaman manis rejo yang tumbuh dengan subur. Baru di tempat ini saya temui manis rejo dengan ukuran sebesar ini dan sebanyak ini. Kami sejenak meluruskan kaki, membasahi kerongkongan, dan menambah energy dengan beberapa potong biscuit. Sempat mengambil beberapa foto juga disini. Indah ya... 




Melanjutkan perjalanan, mulai menyusuri tepian tebing. Serem sih, tapi indah sekali view dari sini. Lihat pria-pria kurang kerjaan ini, ala-ala boy cover album boy band ya :D


Dari sini, rasanya puncak masih jauh sekali, apalagi Hunter bilang, puncaknya dibalik bukit itu, dan bahkan belum terlihat sama sekali oleh pandangan saya.

Tapi makin lama makin banyak ceceran belerang yang kami dapati, terjatuh dari para penambang yang mengangkut bebatuan ini. Kami tiba di pertigaan. Jalan menurun menuju tempat para penambang mengais rejeki, jalan lurus menuju puncak.

Tak lama kemudian bau belerang makin menyengat, buff saya lipat dua bahkan tiga, untuk menutupi aromanya yang bagaikan kentut telur busuk. Tapi ini berarti puncak sudah dekat. Langkah ini makin  bersemangat.

Dan benar saja, akhirnya kami tiba di puncak Welirang (pukul 10.00 WIB). Total perjalan dari pondokan – puncak 2,5 Jam (jalan santai).




Sayangnya plakat puncak ini hilang, jadi hanya tertinggal benderanya saja.

11.00 WIB, Setelah mengambil beberapa foto, kami segera kembali ke pondokan. Medan yang menurun, membuat kami sedikit berlari-lari kecil demi mengurangi tahanan di lutut agar tak terlalu nyeri. Setelah sekitar 1,5 jam kami tiba kembali di pondokan (pukul 12.30 WIB).

Makan siang sudah disiapkan oleh Je untuk kami, barang2 pun sudah tertata rapi. Memang super sekali sahabat kami yang satu ini.

Pukul 14.00 kami kembali melanjutkan perjalanan, menuju Arjuno.


Belum lama berjalan, kami tiba di lembah kijang. Imin dengan antusias berfoto diantara rerumputan yang hijau segar itu. Sementara kami mengisi persediaan air di sumber terakhir yang tersedia di trek ini.

Kembali melanjutkan perjalanan. Treknya mulai menggoda, kemiringan bertambah curam. Tapi kemudian datar lagi.

Je menunjukkan arah mana yang akan kami lalui. Bila dipandang, rasanya mustahil sampai kesana, tinggi sekali, jauh sekali. Sungguh manusia begitu kecil di belantara ini. Apalagi dihadapan Tuhan yang Maha Segalanya.

Terus menapaki bebatuan, terkadang setengah memanjat dan bergelatungan di akar dan dahan pohon. Kemudian kami tiba di sebuah batu besar dan pohon besar. Beristirahat sejenak. Memandang sekitar,indah sekali, seperti tak ingin beranjak.

Gerimis kembali mengguyur. Perut juga kembali protes minta di isi, tapi situasi tak memungkinkan untuk gelar dapur umum di sini. Kami putuskan untuk terus berjalan saja.

Pluto mulai kehilangan staminanya sedikit demi sedikit. Akhirnya dia berhenti dan beristirahat. Saya diminta untuk lanjut, mungkin Pluto khawatir, karena tahu karakteristik saya yang mudah drop bila terlalu banyak istirahat. Maka saya, Je, dan Imin berjalan mendahului. Hunter menemani Pluto di belakang.

Tapi setelah lama berjalan, Mereka berdua tak kunjung menyusul kami. Saya minta untuk kami berhenti dan menunggu. Rasanya makin khawatir saya mengingat kondisi Pluto seperti itu. Je pun memutuskan untuk kembali dan menjemput Pluto, sementara saya dan Imin diminta menunggu dan menjaga carriernya. Setelah Je menjauh. Kabut turun semakin pekat, angin juga makin kencang menerpa tubuh kami. Dalam kondisi diam seperti ini, dinginnya sangat terasa menusuk tulang. Jaket saya dipakai Pluto, jadi terpaksa hanya bisa meringkuk mempertahankan suhu tubuh. Imin mungkin kasihan, akhirnya mengeluarkan sarungnya, lalu menyelimuti saya. Dia juga membagi sebatang coklat untuk kami berdua.

Cukup lama menunggu, akhirnya Je muncul membawa carrier Pluto. Hunter menemani Pluto di belakangnya. Kami melanjutkan perjalanan. Je membawa 2 carrier.

Hati ini masih tak tenang, Pluto terus muntah, bahkan sampai tidak ada lagi yang bisa di muntahkan selain air liurnya sendiri. Sementar kabut makin pekat, matahari pun semakin rendah.

Imin menggantikan Je membawa tas Pluto. Kami bertiga terus berjalan, Pluto tertinggal cukup jauh di belakang terhalang kabut. Benar benar pekat, sampai tak sadar bila kami sedang berada di pasar Dieng. Rasanya seperti tak ada jalan di depan kami. Pluto dari belakang berteriak meminta kami berhenti.

Tak lama, pluto menyusul kami. Tubuhnya begitu lemas, seolah tak sanggup lagi berdiri. Merobohkan badannya di sebuah batu yang cukup besar. Enggan berjalan lagi. Wajahnya pucat pasi, dan masih terus muntah. Saya dekati dia, “Lihat itu” ucap saya sembari menunjuk beberapa makam yang terdapat di area ini. “Kamu mau menjadi bagian dari mereka?” ucap saya lagi. Pluto akhirnya mau bangkit dan kembali berdiri.

Karena sudah tidak tahan dengan dinginnya, saya mencari-cari jaket yang tersisa, rupanya jaket milik pluto masih ada dalam carriernya, saya gunakan jaket itu. Lalu saya bawa carrier saya dan carrier Pluto. Sementara Je dan Imin sudah mendahului di depan.

Tak lama imin berteriak “Puncak! Ini puncak bukan?! Ini puncak kan?” lalu ia berlari menuju puncak, mengambil beberapa foto, saya menyusul segera.


Tak lama, kami pun turun dan menuju batu besar di bawah puncak arjuno. Senja itu, sunguh indah, sungguh berkesan, pertama kalinya menikmati sunset di puncak. Kabut yang semula pekat, seketika hilang dan langit tampak cerah. Paduan Merah, Jingga dan Ungu menyatu dengan gelap malam yang mulai merasuk perlahan.


Kami putuskan bermalam dibawah batu besar ini. Makan malam dengan bekal yang tersisa. Bersih diri. Salat Isya’. Dan Kami berniat untuk beristirahat. Namu tampaknya Pluto masih belum pulih. Masih terus muntah. Tubuhnya makin lemas. Jadilah kami semalam itu tak dapat tidur, menemani Pluto terjaga dalam sakitnya.

Skitar pukul 3 dini hari, Pluto mulai bisa memejamkan mata dan tertidur. Kami pun beristirahat. Menanti fajar yang segera tiba sesaat lagi.

Pagi kembali dengan cerahnya. Bersyukur kami dianugerahkan kesehatan di hari terakhir trekking ini. Hunter sudah lebih dulu berkemas dan membawa tenda, turun melalui jalur lawing. Sedangkan kami bertiga masih sejenak menikmati irama pagi dan berfoto ria.






Sekitar pukul 7.30 WIB kami lanjutkan perjalanan menuju Makutoromo. Cukup Lama kami berjalan, rasanya jarak puncak-makutoromo menjadi lebih jauh dari yang pernah saya lalui. Perut keroncongan. Haus. Air habis, bekal menipis. Lengkap Sudah. Hanya bisa menelan air liur sambil berharap pada sisa-sisa energy.

Melihat tanah lapang dengan pepohonan yang menjulang tinggi, Jawa Dipa :D senang rasanya, berarti separuh gunung sudah kami turuni. Sejenak melepas penat dan meluruskan lutut yang lelah menahan berat tumpuan. Sempat berbincang dengan beberapa pendaki yang kami temui. Mereka menuju puncak pagi itu.

Melanjutkan perjalanan menuju Makutoromo. Setengah berlari. Mulai tampak deretan pohon sejajar kanan dan kiri, serta susunan bebatuan menyerupai anak tangga. Sepilar. Makin bersemangat rasanya.

Pukul 9.45 WIB Tiba di Makutoromo, menghempaskan tubuh di atas tumpukan jerami, melepaskan lelah. Mengisi persediaan air. Mencuci muka. Sedikit menyegarkan tubuh. Dan kami sempatkan memasak jelly.

Setelah cukup beristirahat dan mengisi perut. Kami kembali berlari menuruni perbukitan ini. Menuju Desa Tambak Watu tujuan akhir kita. Hujan kembali mengguyur. Kami mempercepat langkah. Tak lagi terpikir untuk beristirahat. Beberapa Arca yang biasanya menjadi tempat persembahyangan bagi orang-orang yang mempercayai, serta tempat peristirahatan bagi kami, kami lewatkan saat ini. Yang ada di pikiran saat ini hanya satu, segera tiba di Dusun Tambak Watu. Jadilah Eyang Semar, Eyang Sakri, Tampuono, Watu Kursi, dan Ontobugo kami lewatkan begitu saja.

Adzan dzuhur berkumandang, kami semakin mendekati perumahan penduduk. TIba di Dusun Tambak Watu, kami beristirahat dan menunggu jemputan untuk kembali ke Purwosari.

1 komentar:

  1. Nah...

    Itu Cak No Bukan...?

    Yang Pakai Kain Biru di kepala...

    BalasHapus