Rencana yang telah disusun beberapa bulan sebelumnya, hampir
saja dibatalkan, karena begitu banyak halangan. Mulai dari pos perijinan yang
tutup, hingga jadwal masing2 yang bentrok, beberapa kali mengganti tanggal
keberangkatan, hingga kami dapatkan 1 hari yakkni 23 Januari 2015. Namun mendadak
dapat pengumuman, ujian UAS saya di kampus dijadwalkan bertepatan dengan hari
dimana kami berencana berangkat.
23 Januari 2015, secepat mungkin saya selesaikan ujian hari
itu. Lalu berganti pakaian, dan berangkat menuju terminal Purabaya
(Bungurasih). Beruntung bis jurusan Surabaya-Malang yang saya tumpangi segera
berangkat sehingga tidak terlalu banyak membuang waktu. Kurang lebih 45 menit,
saya tiba di terminal Pandaan. Disana teman-teman telah menunggu. Pluto dan Je,
dari Purwosari Pasuruan. Imin dari Lombok. Bang Hunter dari Lawang Malang.
Menggunakan angkutan umum kami menuju pos pendakian Tretes.
Di tengah perjalanan baru teringat bahwa kami belum membeli beras untuk
perbekalan. Jadilah hari itu kami trekking tanpa membawa beras, setidaknya
masih ada sayur dan beberapa lauk yang telah kami siapkan, juga mie instan yang
tak pernah lupa menjadi andalan.
Pukul 14.00 kami tiba di pos, dan menghubungi penjaga pos
untuk ijin pendakian. Ditengah guyuran hujan kami memulai trekking di medan
berbatu yang mulai menanjak tapi masih santai. Sambil ngobrol ngalor ngidul gak
jelas, menikmati perjalanan perdana saya di medan ini.
Guyuran hujan menggempur stamina saya yang sudah cukup lama
vakum dari urusan perhutanan. Ditambah belum makan dari sehari sebelumnya
karena terlalu sibuk menyiapkan ujian. Jadilah saya masuk angin. Beruntungnya
jalan dengan para pendaki sejati itu, brotherhoodnya begitu kental, melihat
kondisi saya yang mulai drop, tawaran untuk membawakan carrier mulai
berdatangan. Sesekali manja tak apalah :D
Sekitar 1jam berjalan, kami tiba di Pet Bocor. Sejenak
beristirahat, membasahi kerongkongan, dan mengatur nafas. Lalu kembali
melanjutkan perjalanan menuju Kop-Kopan.
Sambil sesekali beristirahat, sembari menikmati pemandangan
yang indah meski terselubung mendung dan gerimis romantis. Sekitar 2 jam
kemudian kami tiba di Kop-Kopan. Alhamdulillah rejeki anak sholeh. kami menemukan seplastik beras, mungkin ditinggalkan oleh pendaki lain, kami membawanya sebagai perbekalan kami. Kami sempatkan membuat bubur kacang hijau dan teh
panas untuk menambah stamina. Dan benar saja, seperti balita di posyandu, makan
kacang hijau, langsung tahes :D jadi kuat bawa carrier lagi.
Senja mulai menaungi perjalanan kami, bersama langit yang
gerimisnya tak kunjung berhenti. Melanjutkan perjalanan dengan tenaga yang
tersisa. Sedikit doping dari biscuit dan madu yang kami bawa. Saat itu, stamina
Je mulai menurun. Pertanda buruk bagi kami, karena Je salah satu yang paling
kuat bawa banyak barang dan dia juga yang lebih mengenal medan ini daripada
kami. Tak lama, Pluto juga mulai drop. Tapi dengan ringannya Je berjalan
mendahului, meninggalkan carriernya di tempat yang agak jauh di depan. Tak lama
kemudian dia kembali dan membawa carrier Pluto.
Sekitar pukul 19.00 kami tiba di Pondokan. Di tempat ini
banyak pondok sederhana milik para penambang belerang. Saya dan Hunter
mendirikan tenda, imin juga turut serta membantu kami. Je dan Pluto menyiapkan
makan malam kami.
Usai menata barang, bersih diri, lalu kami menikmati
hidangan sederhana. Je masih tak berselera makan. Akhirnya kami paksa ia
menelan beberapa sendok bubur kacang hijau hangat, dan sebungkus tolak angin.
Tak lama kemudian ia memuntahkan semua. Saya minta Je untuk beristirahat,
sleeping bag yang hanya satu pun di buka lebar sebagai selimut kami bertiga
(Je, Pluto dan Saya), meski ujung2nya slimut itu di dominasi Pluto karena
badannya paling besar :D
Pagi harinya, gak ada pikiran untuk menikmati sunrise atau
apalah apalah. Memanfaatkan waktu untuk beristirahat. Setelah dirasa cukup,
kami mulai siapkan sarapan. Jemur beberapa barang yang basah kuyup karena hujan
semalam. Kemudian bersiap summit Welirang.
24 Januari 2015, Pukul 7.30 kami mulai menuju puncak welirang. Je menjaga tenda, supaya barang-barang tak hilang, juga memulihkan staminanya yang masih belum sempurna setelah drop semalam.
Sepanjang jalan kami bertemu beberapa orang yang sedang
membuat jalan untuk off road. Mungkin nanti, ekosistem ini akan semakin rusak
lagi, bila mobil sudah dengan mudahnya dapat masuk dan menjelajah hutan ini,
meninggalkan jejak melukai tanah yang subur ini.
Diiringi siraman cahaya mentari, perlahan kaki kami menapaki
jalan berbatu yang terus menanjak. Sesekali kami berhenti sejenak untuk
mengatur nafas. Saya yang paling ngos ngosan, sementara yang lain masih bisa
tersenyum manis karena mereka memang sudah senior di bidang perhutanan ini.
Kaki ini terus menapaki tanah dan bebatuan, sembari
mendengarkan kisah dari Pluto yang sudah lebih dulu menjamah tempat ini.
Kisahnya tentang gunung Kembar 1, Kembar 2, beberapa jalur untuk menuju puncak,
dan berbagai kejadian unik yang pernah dialami disini.
Setelah cukup lama berjalan, kami tiba di suatu tanah lapang
dengan begitu banyak tanaman manis rejo yang tumbuh dengan subur. Baru di
tempat ini saya temui manis rejo dengan ukuran sebesar ini dan sebanyak ini.
Kami sejenak meluruskan kaki, membasahi kerongkongan, dan menambah energy dengan
beberapa potong biscuit. Sempat mengambil beberapa foto juga disini. Indah ya...
Melanjutkan perjalanan, mulai menyusuri tepian tebing. Serem
sih, tapi indah sekali view dari sini. Lihat pria-pria kurang kerjaan ini,
ala-ala boy cover album boy band ya :D
Dari sini, rasanya puncak masih jauh sekali, apalagi Hunter
bilang, puncaknya dibalik bukit itu, dan bahkan belum terlihat sama sekali oleh
pandangan saya.
Tapi makin lama makin banyak ceceran belerang yang kami
dapati, terjatuh dari para penambang yang mengangkut bebatuan ini. Kami tiba di
pertigaan. Jalan menurun menuju tempat para penambang mengais rejeki, jalan
lurus menuju puncak.
Tak lama kemudian bau belerang makin menyengat, buff saya
lipat dua bahkan tiga, untuk menutupi aromanya yang bagaikan kentut telur
busuk. Tapi ini berarti puncak sudah dekat. Langkah ini makin bersemangat.
Dan benar saja, akhirnya kami tiba di puncak Welirang (pukul 10.00 WIB). Total perjalan dari pondokan – puncak 2,5 Jam (jalan santai).
Dan benar saja, akhirnya kami tiba di puncak Welirang (pukul 10.00 WIB). Total perjalan dari pondokan – puncak 2,5 Jam (jalan santai).
Sayangnya plakat puncak ini hilang, jadi hanya tertinggal
benderanya saja.
11.00 WIB, Setelah mengambil beberapa foto, kami segera
kembali ke pondokan. Medan yang menurun, membuat kami sedikit berlari-lari
kecil demi mengurangi tahanan di lutut agar tak terlalu nyeri. Setelah sekitar
1,5 jam kami tiba kembali di pondokan (pukul 12.30 WIB).
Makan siang sudah disiapkan oleh Je untuk kami, barang2 pun
sudah tertata rapi. Memang super sekali sahabat kami yang satu ini.
Belum lama berjalan, kami tiba di lembah kijang. Imin dengan
antusias berfoto diantara rerumputan yang hijau segar itu. Sementara kami
mengisi persediaan air di sumber terakhir yang tersedia di trek ini.
Kembali melanjutkan perjalanan. Treknya mulai menggoda,
kemiringan bertambah curam. Tapi kemudian datar lagi.
Je menunjukkan arah mana yang akan kami lalui. Bila
dipandang, rasanya mustahil sampai kesana, tinggi sekali, jauh sekali. Sungguh
manusia begitu kecil di belantara ini. Apalagi dihadapan Tuhan yang Maha
Segalanya.
Terus menapaki bebatuan, terkadang setengah memanjat dan
bergelatungan di akar dan dahan pohon. Kemudian kami tiba di sebuah batu besar
dan pohon besar. Beristirahat sejenak. Memandang sekitar,indah sekali, seperti
tak ingin beranjak.
Gerimis kembali mengguyur. Perut juga kembali protes minta
di isi, tapi situasi tak memungkinkan untuk gelar dapur umum di sini. Kami
putuskan untuk terus berjalan saja.
Pluto mulai kehilangan staminanya sedikit demi sedikit.
Akhirnya dia berhenti dan beristirahat. Saya diminta untuk lanjut, mungkin
Pluto khawatir, karena tahu karakteristik saya yang mudah drop bila terlalu
banyak istirahat. Maka saya, Je, dan Imin berjalan mendahului. Hunter menemani
Pluto di belakang.
Tapi setelah lama berjalan, Mereka berdua tak kunjung
menyusul kami. Saya minta untuk kami berhenti dan menunggu. Rasanya makin
khawatir saya mengingat kondisi Pluto seperti itu. Je pun memutuskan untuk
kembali dan menjemput Pluto, sementara saya dan Imin diminta menunggu dan
menjaga carriernya. Setelah Je menjauh. Kabut turun semakin pekat, angin juga
makin kencang menerpa tubuh kami. Dalam kondisi diam seperti ini, dinginnya
sangat terasa menusuk tulang. Jaket saya dipakai Pluto, jadi terpaksa hanya
bisa meringkuk mempertahankan suhu tubuh. Imin mungkin kasihan, akhirnya
mengeluarkan sarungnya, lalu menyelimuti saya. Dia juga membagi sebatang coklat
untuk kami berdua.
Cukup lama menunggu, akhirnya Je muncul membawa carrier
Pluto. Hunter menemani Pluto di belakangnya. Kami melanjutkan perjalanan. Je
membawa 2 carrier.
Hati ini masih tak tenang, Pluto terus muntah, bahkan sampai
tidak ada lagi yang bisa di muntahkan selain air liurnya sendiri. Sementar
kabut makin pekat, matahari pun semakin rendah.
Imin menggantikan Je membawa tas Pluto. Kami bertiga terus
berjalan, Pluto tertinggal cukup jauh di belakang terhalang kabut. Benar benar
pekat, sampai tak sadar bila kami sedang berada di pasar Dieng. Rasanya seperti
tak ada jalan di depan kami. Pluto dari belakang berteriak meminta kami
berhenti.
Tak lama, pluto menyusul kami. Tubuhnya begitu lemas, seolah
tak sanggup lagi berdiri. Merobohkan badannya di sebuah batu yang cukup besar.
Enggan berjalan lagi. Wajahnya pucat pasi, dan masih terus muntah. Saya dekati
dia, “Lihat itu” ucap saya sembari menunjuk beberapa makam yang terdapat di
area ini. “Kamu mau menjadi bagian dari mereka?” ucap saya lagi. Pluto akhirnya
mau bangkit dan kembali berdiri.
Karena sudah tidak tahan dengan dinginnya, saya mencari-cari
jaket yang tersisa, rupanya jaket milik pluto masih ada dalam carriernya, saya
gunakan jaket itu. Lalu saya bawa carrier saya dan carrier Pluto. Sementara Je
dan Imin sudah mendahului di depan.
Tak lama imin berteriak “Puncak! Ini puncak bukan?! Ini puncak
kan?” lalu ia berlari menuju puncak, mengambil beberapa foto, saya menyusul
segera.
Tak lama, kami pun turun dan menuju batu besar di bawah
puncak arjuno. Senja itu, sunguh indah, sungguh berkesan, pertama kalinya
menikmati sunset di puncak. Kabut yang semula pekat, seketika hilang dan langit
tampak cerah. Paduan Merah, Jingga dan Ungu menyatu dengan gelap malam yang
mulai merasuk perlahan.
Kami putuskan bermalam dibawah batu besar ini. Makan malam
dengan bekal yang tersisa. Bersih diri. Salat Isya’. Dan Kami berniat untuk
beristirahat. Namu tampaknya Pluto masih belum pulih. Masih terus muntah.
Tubuhnya makin lemas. Jadilah kami semalam itu tak dapat tidur, menemani Pluto
terjaga dalam sakitnya.
Skitar pukul 3 dini hari, Pluto mulai bisa memejamkan mata
dan tertidur. Kami pun beristirahat. Menanti fajar yang segera tiba sesaat
lagi.
Pagi kembali dengan cerahnya. Bersyukur kami dianugerahkan
kesehatan di hari terakhir trekking ini. Hunter sudah lebih dulu berkemas dan
membawa tenda, turun melalui jalur lawing. Sedangkan kami bertiga masih sejenak
menikmati irama pagi dan berfoto ria.
Sekitar pukul 7.30 WIB kami lanjutkan perjalanan menuju Makutoromo. Cukup
Lama kami berjalan, rasanya jarak puncak-makutoromo menjadi lebih jauh dari
yang pernah saya lalui. Perut keroncongan. Haus. Air habis, bekal menipis.
Lengkap Sudah. Hanya bisa menelan air liur sambil berharap pada sisa-sisa energy.
Melihat tanah lapang dengan pepohonan yang menjulang tinggi,
Jawa Dipa :D senang rasanya, berarti separuh gunung sudah kami turuni. Sejenak
melepas penat dan meluruskan lutut yang lelah menahan berat tumpuan. Sempat
berbincang dengan beberapa pendaki yang kami temui. Mereka menuju puncak pagi
itu.
Melanjutkan perjalanan menuju Makutoromo. Setengah berlari.
Mulai tampak deretan pohon sejajar kanan dan kiri, serta susunan bebatuan
menyerupai anak tangga. Sepilar. Makin bersemangat rasanya.
Pukul 9.45 WIB Tiba di Makutoromo, menghempaskan tubuh di atas tumpukan jerami, melepaskan lelah. Mengisi persediaan air. Mencuci muka. Sedikit menyegarkan tubuh. Dan kami sempatkan memasak jelly.
Setelah cukup beristirahat dan mengisi perut. Kami kembali berlari menuruni perbukitan ini. Menuju Desa Tambak Watu tujuan akhir kita. Hujan kembali mengguyur. Kami mempercepat langkah. Tak lagi terpikir untuk beristirahat. Beberapa Arca yang biasanya menjadi tempat persembahyangan bagi orang-orang yang mempercayai, serta tempat peristirahatan bagi kami, kami lewatkan saat ini. Yang ada di pikiran saat ini hanya satu, segera tiba di Dusun Tambak Watu. Jadilah Eyang Semar, Eyang Sakri, Tampuono, Watu Kursi, dan Ontobugo kami lewatkan begitu saja.
Adzan dzuhur berkumandang, kami semakin mendekati perumahan
penduduk. TIba di Dusun Tambak Watu, kami beristirahat dan menunggu jemputan
untuk kembali ke Purwosari.
Nah...
BalasHapusItu Cak No Bukan...?
Yang Pakai Kain Biru di kepala...